Abstrak
Lembaga bantuan Hukum Perguruan Tinggi Negeri (LBH PTN) sebagai bagian dari proses peradilan selama beberapa dekade turut mewarnai proses penegakan hukum di Indonesia. Sejak diundangkannya UU Advokat yang mewajibkan pemberi bantuan hukum memiliki lisensi kepengacaraan, LBH PTN tidak bisa lagi leluasa bergerak, meski kemudian terdapat putusan MK yang membatalkan pasal pemidanaan dalam UU Advokat tersebut. Secara praktis, posisi LBH PTN harus dipahami sebagai bagian upaya dari para civitas akademika dalam melakukan pengabdian masyarakat dan pengembangan keilmuan hukum. Lahirnya UU No 16 tahun 2012 tentang Bantuan Hukum memberikan Angin segar dalam mereposisi Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Negeri dalam melakukan pemberian bantuan hukum yang menjamin akses keadilan. Dengan menggunakan pendekatan Yuridis Normatif ditemukan bahwa UU Bantuan Hukum mereposisi peran pengabdian masyarakat Lembaga Bantuan Hukum Perguruan Tinggi Negeri setelah vacuum akibat tidak adanya aturan yang jelas dan tegas yang mengakomodir peran mereka selama puluhan tahun bergerak di bidang bantuan hukum pro masyarakat miskin. Perluasan definisi Pemberi Bantuan Hukum dalam UU Bantuan Hukum dalam Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 8 ayat (2) UU Bantuan Hukum meberikan peluang bagi para dosen PTN, paralegal dan mahasiswa hukum yang tergabung dalam LBH untuk melakukan pengabdian masyarakat sekaligus pengembangan keilmuan hukum. Implementasi jaminan access to justice yang dilakukan LBH PTN dapat dilakukan secara lebih optimal pasca diberlakukannya UU Bantuan Hukum. Proses pemberian pelayanan bantuan hukum dapat dilakukan dengan cara melakukan pendampingan secara litigasi maupun non litigasi, penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum dengan bantuan pendanaan dari negara.
Kata Kunci : Bantuan Hukum, Lembaga Bantuan Hukum, Perguruan Tinggi Negeri, Advokat, Pengabdian Masyarakat, Access to Justice