Semangat melakukan perlawanan terhadap korupsi tidak cukup dilakukan hanya dengan mengutamakan upaya pencegahan, upaya penindakan penting juga dilakukan sebagai ultimum remedium untuk menimbulkan efek jera bagi para calon pelaku lain yang mencoba bermain dan mengambil keuntungan secara tidak sah yang merugikan keuangan Negara.
Tahun 2015 ditutup dengan peresmian gedung baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gedung yang baru dibangun dengan dana kurang lebih Rp. 315 Milyar dengan fasilitas yang lengkap ini diharapkan dapat memperkuat agenda pemberantasan Korupsi. Namun demikian Mahfud MD, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (29/12) mengingatkan pentingnya dukungan politik Presiden Joko Widodo dalam upaya pemberantasan korupsi di saat banyak pihak berusaha melakukan pelemahan terhadap KPK.
Sinyalemen ini dapat dipahami karena di tahun 2015 lalu pemerintah terkesan tidak tegas dan melakukan pembiaran terhadap gerakan pelemahan upaya pemberantasan Korupsi. Dalam berbagai kesempatan pemerintah mengingatkan agar penegak hukum lebih fokus pada upaya pencegahan daripada melakukan kegaduhan yang tidak perlu dengan melakukan penindakan kasus korupsi.
Ada beberapa indikasi yang menunjukkan rendahnya dukungan politik pemerintah terhadap pemberantasan korupsi pada tahun 2015 kemarin. Pertama, Pembiaran terhadap “Kriminalisasi’ (Malicious Prosecution) terhadap pimpinan KPK dan para aktivis anti Korupsi.. Tercatat, dua pimpinan KPK, penyidik KPK , komisioner KY dan beberapa aktivis anti korupsi berstatus tersangka hingga saat ini. Kriminalisasi ini diduga keras sebagai reaksi balas dendam dari Polri karena tindakan KPK yang melakukan pemeriksaan terhadap calon tunggal pimpinan Polri di awal tahun 2015
Ratusan bahkan ribuan orang dari berbagai kalangan akademisi, agamawan dan tokoh masyarakat mendesak dan menuntut Presiden untuk melakukan tindakan tegas dalam menyelesaikan masalah ini. Namun alih-alih menjadikan “kriminalisasi’ para pegiat anti korupsi sebagai momentum melakukan revolusi mental aparat penegak hukum untuk lebih akuntabel dan transparan dalam rangka memperkuat upaya pemberantasan korupsi, pemerintah hingga saat ini membiarkan berbagai kasus “kriminalisasi” tersebut mengambang tanpa ada kejelasan ataupun penyelesaian yang konkret .
Kedua, dengan alasan penyerapan anggaran yang rendah, pemerintah dalam berbagai kesempatan menyatakan agar penegakan hukum tindak pidana korupsi dilakukan dengan mengutamakan pencegahan dan menghindari kegaduhan yang tidak perlu saat melakukan penindakan dan penuntutan kasus-kasus korupsi. Alasan ini yang melatar belakangi Sekretaris Kabinet mengirimkan Surat Edaran kepada pemerintah daerah di seluruh Indonesia terkait larangan “kriminalisasi’ terhadap pejabat daerah yang sedang melakukan penyerapan anggaran.
Hal tersebut kemudian direspon oleh Kejaksaan Agung melalui Kepja-152/A/JA/10/2015 dengan membentuk Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Kejaksaan Republik Indonesia (TP4). Sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi penuntutan, kehadiran TP4 di bawah kejaksaan ini dapat juga dipahami sebagai upaya pemerintah untuk lebih memaksimalkan fungsi pencegahan daripada fungsi penindakan tindak pidana korupsi di level pusat dan daerah.
Dalam sambutannya pada saat meresmikan gedung baru KPK (29/12) Presiden Joko Widodo menekankan bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan tidak hanya membutuhkan KPK yang kuat tapi juga institusi kepolisian dan kejaksaan yang kuat. Hal yang sepertinya paradoks jika dilihat dari politik anggaran penegakan hukum. Sebagai contoh pada tahun 2015, Kejaksaan dengan kewenangan yang besar dalam sistem peradilan pidana hanya mendapatkan anggaran sebesar 4,735 T atau sebesar 0,25 % APBN. Akibatnya sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Subbagian Tata Usaha Direktorat Penyidikan Kejaksaan Agung Muhtadi (17/11) seringkali bolak-balik perkara antara penyidikan dan penuntutan (P-19) bukan dikarenakan minimnya alat bukti, namun karena persoalan anggaran yang minim.
Dalam hal pemberantasan korupsi, alih-alih memberikan dukungan anggaran yang memadai, pemerintah malah memantapkan fungsi Kejaksaan sebagai lembaga pencegahan tindak pidana korupsi. Hal ini tercermin dengan digenjotnya pembentukan TP4D di tiap-tiap kejaksaan dan turunnya anggaran penanganan korupsi oleh Kejaksaan Negeri dari rata-rata 5 (lima) perkara korupsi per tahun menjadi hanya 1 (satu) kasus korupsi per tahun di APBN 2016.
Di sisi lain, postur pimpinan KPK Jilid IV yang dipilih pemerintah bersama DPR nampak didesain untuk lebih melakukan upaya pencegahan dibanding dengan penindakan. Kontroversi ketiadaan unsur Jaksa dalam pimpinan KPK menyiratkan bahwa lembaga ini ke depan tidak membutuhkan fungsi penuntutan dalam melakukan tugasnya. Hal ini juga terungkap dari draft RUU KPK beberapa waktu lalu yang menghilangkan fungsi penuntutan KPK dalam penindakan perkara korupsi. Padahal keberhasilan penuntutan KPK selama ini juga antara lain disebabkan oleh terintegrasinya 2 (dua) fungsi ini.
Komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi akan lebih banyak diuji di tahun 2016 ini. Publik menanti gebrakan Pemerintah Presiden Joko Widodo dalam mengawal gerakan pemberantasan korupsi yang nampaknya makin berat. Apakah janji-janji penguatan kelembagaan pemberantasan korupsi melalui peraturan perundang-undangan dan dukungan anggaran yang memadai akan terealisasi? Ataukah seperti yang sudah-sudah publik akan disuguhi pasifnya pemerintah dalam menghadang upaya pelemahan pemberantasan korupsi dari segala arah? Yang pasti, publik merindukan ketegasan seorang Presiden sebagai kepala negara yang berdiri memimpin pemberantasan korupsi di negeri ini.
Versi lain di Jawa Pos Cetak tanggal 4 Januari 2016 bisa diunduh di sini