Sejak merdeka 70 tahun yang lalu, selalu ada mimpi di dada anak negeri untuk mendapatkan kesetaraan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Meski berbagai dugaan kriminalisasi kasus, perlakuan istimewa bagi orang-orang tertentu dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat Negara nyaring terdengar hingga saat ini, nampaknya tak menyurutkan niat dan gerakan masyarakat sipil untuk terus mendorong reformasi hukum di negeri ini
Secara mikro kita dapat melihat kondisi penegakan hukum termasuk kepatuhan dan cara Negara merepon konsep keadilan dengan melihat, mengamati atau bahkan mengalami proses pengaturan hukum lalu lintas di jalan raya. Melalui jalan raya kita dapat melihat tingkat kesadaran hukum masyarakat serta baik buruknya praktik penegakan hukum utamanya bagaimana asas equality before the law menjadi dasar Negara memperlakukan warganya.
Masih segar dalam ingatan kita, beberapa kasus kecelakaan yang melibatkan orang-orang dengan posisi dan latar belakang tertentu ditangani secara berbeda oleh aparat penegak hukum, beberapa perlakukan khusus yang tidak akan didapat jika yang mengalami perkara lalu lintas adalah masyarakat kecil yang tidak punya akses ke sumber kekuasaan.
Selain Negara yang cenderung pilih kasih, perilaku sebagian masyarakat pengguna jalan sebenarnya juga tidak ada bedanya. Sudah menjadi rahasia umum, jika sebagian pengguna kendaraan bermotor mendapatkan lisensi/izin mengendarai kendaraan bermotor dengan cara-cara yang instan. Hal yang kemudian berakibat pada kekurang pahaman mereka terhadap aturan keselamatan dan keamanan berkendara di jalan raya. Tidak heran jika kemudian di Indonesia, tindak pidana paling banyak memakan korban jiwa adalah tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Hal ini patut menjadi perhatian untuk melakukan reformasi di bidang pengaturan dan penanggung jawab lalu lintas.
Contoh teranyar yang dapat kita amati saat ini adalah saat seorang warga Jogjakarta berusaha menghimbau peserta konvoi motor besar yang dikawal oleh aparat kepolisian untuk patuh pada petunjuk lampu merah agar tidak merugikan kepentingan masyarakat lainnya. Tindakan ini sebenarnya adalah salah satu letupan kecil protes dari masyarakat yang secara sadar dilakukan karena melihat adanya ketidak samaan perlakuan hukum yang diberikan oleh Negara dengan dasar status dan latar belakang seseorang.
Jika mau ditelisik secara seksama, sebenarnya sudah banyak aturan yang harus dipedomani oleh semua pengguna jalan raya termasuk aparat Negara dalam berperilaku di jalan raya termasuk bagaimana cara penegakan hukumnya. Namun kita masih sering mendengar pengabaian aturan hukum dengan alasan adanya pasal karet yang lentur yang bisa ditafsirkan sesuai pihak yang berkepentingan.
Hal yang sangat disayangkan mengingat 70 tahun yang lalu para founding father kita telah bersepakat untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan hukum yang salah satu cirinya adalah meminimalisir penggunaan diskresi berlebihan dari aparatur Negara dengan aturan dan guidelines yang jelas.
Pertimbangan/Diskresi Polisi sebagai landasan Hukum
Dalam rilisnya, Kapolri dan Humas Mabes Polri berusaha berkelit dengan menyatakan bahwa tindakan patwal moge di Jogjakarta sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mabes Polri mendasarkan tindakan mereka pada pasal 134 huruf g UU 22/2009 tentang lalu lintas jo,. Pasal 18 UU 2/2002 tentang Kepolisian jo Pasal 1 angka 10 PERKAP 10/2012 tentang pengaturan lalu lintas dalam keadaan tertentu.
Untuk lebih jelasnya berikut akan diuraikan pasal-pasal tersebut;
Pasal 134 huruf g UU 22/2009 menyatakan pengguna Jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut: konvoi dan/atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya pasal 18 (1) UU 2/2002 tentang Kepolisian menyatakan untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Oleh karenanya tindakan pengaturan lalu lintas demi kepentingan patwal Moge di Jogjakarta atau tindakan patwal-patwal lainnya seperti dikemukakan Kapolri untuk kelancaran prosesi acara orang meninggal misalnya adalah sah dan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sekilas tidak ada yang salah dari penjelasan tersebut, namun jika kita fair melakukan analisa hukum, ada yang kurang dari penjelasan Mabes Polri tersebut. Entah karena lupa atau tidak tahu tafsir otentik Pasal 134 huruf g UU 22/2009 yang termaktub dalam penjelasan pasal terebut dan catatan penjelas dalam pasal 18 (2) UU 2/2002 tentang batasan diskresi kepolisian tidak dicantumkan dalam rilis divisi Humas Mabes Polri.
Kenapa kedua hal ini penting, karena sesuai penjelasan pasal 134 huruf g UU 22/2009, UU memberikan batasan definisi “kepentingan tertentu” dengan arti kepentingan yang memerlukan penanganan segera, antara lain, Kendaraan untuk penanganan ancaman bom, Kendaraan pengangkut pasukan, Kendaraan untuk penanganan huru-hara, dan Kendaraan untuk penanganan bencana alam. Selanjutnya, definisi “menurut pertimbangan petugas Kepolisian” tidak bisa diartikan secara bebas bahwa polisi memiliki diskresi penuh dalam bertindak menurut penilaiannya sendiri tanpa kontrol. Pasal 18 (2) UU 2/ 2002 membatasi diskresi hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Belum lagi petugas Kepolisian sebagai bagian dari aparatur negara juga terikat dengan ketentuan UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dimana dalam pasal 24 jo pasal 22 (2) disebutkan bahwa pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:
a. sesuai dengan tujuan Diskresi yaitu untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; mengisi kekosongan hukum; memberikan kepastian hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. sesuai dengan AUPB;
d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.
Oleh karenanya jika pengambilan pertimbangan Polisi dalam patwal Moge tersebut tidak sesuai dengan tujuan wewenang dan bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik dapat dikategorilkan sebagai diskresi yang mencampuradukkan wewenang yang secara hukum dapat dibatalkan (Pasal 31 UU 30/2014).
Demi menyambut semangat kemerdekaan RI ke 70, saya kira alih-alih membela diri dengan membabi buta, akan lebih baik jika jajaran Kepolisian RI sebagai Aparatur Negara melakukan evaluasi menyeluruh praktik-praktik keliru yang selama ini dijalankan. Sudah menjadi rahasia umum, jika masyarakat berpunya dapat menggunakan jasa pengawalan Kepolisian di luar kepentingan negara. Momentum ini akan sangat tepat jika Kepolisian RI mau mengembalikan fitrah petugas patroli pengawalan sesuai ketentuan per-undang-undangan dan tidak malah mengajari dan memberi contoh kepada masyarakat untuk melanggar undang-undang.
Versi Lain tulisan ini ada di http://news.detik.com/kolom/2994569/kemerdekaan-berlalu-lintas-dan-potret-perilaku-hukum-kita