Akhirnya setelah polemik yang panjang pada hari kamis (3/3) Jaksa Agung M Prasetyo memutuskan menseponeren (deponeering) atau mengesampingkan perkara dua mantan komisioner KPK Abraham Samad (AS) dan Bambang Wijayanto (BW). Jaksa Agung beralasan bahwa keputusan seponeer ini diambil sebagai bentuk asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung sesuai pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan. Kejaksaan Agung beralasan bahwa keputusan ini diambil karena penuntutan terhadap AS dan BW kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi dan memperburuk citra pemerintah Indonesia di mata masyarakat dan juga dunia internasional. Alasan yang hampir serupa dengan alasan seponeer kasus Bibit Chandra pada tahun 2010. (Jawapos 4/3)
Sejatinya klaim bahwa asas oportunitas merupakan hak preogratif Jaksa Agung adalah benar jika dirunut dari asas Dominus Litis Kejaksaan. Namun penggunaan asas ini yang hanya menyasar orang-orang tertentu yang secara politik kuat harus menjadi pertanyaan besar. Ahli Kejaksaan Surachman mencatat sejak UU Kejaksaan lahir di tahun 1961 praktis tidak lebih dari 10 (sepuluh) perkara pidana yang diseponeer oleh Kejaksaan. Hal ini tentu aneh karena dibandingkan dengan negara negara maju yang sama-sama menganut asas ekpediensi seperti Indonesia, hampir 50 (lima puluh) persen perkara pidananya dikesampingkan dengan asas Oportunitas. (Jehle & Wade, 2006).
Asas Oportunitas dan Pencegahan Kriminalisasi
Yvon Dandurand (2007) pakar sistem peradilan pidana menekankan bahwa Kejaksaan memiliki peran penting untuk memperkuat konsep Rule of Law dalam sistem peradilan pidana. Dalam kerangka Rule of law, jaksa penuntut umum dituntut untuk menjamin bahwa penegakan hukum dilakukan oleh semua aparatur negara berjalan dalam koridor supremasi hukum nir-kepentingan politik. Studi yang dilakukan Luna dan Wade (2010) bahkan menempatkan kekuasaan jaksa hampir sama dengan hakim saat memutuskan kasus mana yang layak atau tidak masuk ke pengadilan dengan asas oportunitas yang dimilikinya. Oleh karenanya fungsi filter yang dimiliki jaksa dalam system peradilan pidana ini juga dimaknai sebagai tindakan korektif kepada kinerja penyidik jika ada pelanggaran atau dugaan adanya upaya kriminalisasi (malicious prosecution).
Dalam konteks Indonesia, tidak sulit sejatinya untuk Kejaksaan melakukan pengecekan kebenaran dugaan malicious prosecution yang terjadi di banyak kasus kontroversial yang diduga direkayasa. Pertama, Posisi seorang jaksa sebagai Magistrate mengharuskan dia benar-benar berhati-hati dalam menerima dan meneliti berkas perkara dari penyidik. Hukum acara pidana yang menganut prinsip Negatief-wettelijk bewijsstelsel mengharuskan seorang jaksa untuk mencari kebenaran materiil dari setiap perkara pidana yang ditanganinya dan tidak melulu menggantungkan dari berkas hasil penyidikan. Jika kuat dugaan terjadi rekayasa di level penyidikan, kejaksaan dapat melakukan operasi intelejen yudisial dalam rangka mencari kebenaran materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU 16/2004 tentang Kejaksaan jo. PERJA 037/A/J.A/9/2011 tentang SOP Intelejen. Kedua, jika Kejaksaan sudah terlanjur menerima berkas dari penyidik (P-21), jaksa tetap dapat melakukan pemeriksaan tambahan (Nasporing) jika ditemukan data/bukti kuat yang luput dari perhatian penyidik. Jaksa berdasarkan hasil pemeriksaan tambahan ini dan jika diperlukan dengan didukung data intelejen yudisial akan menentukan sikap apakah suatu perkara pidana layak atau tidak untuk dilakukan proses penuntutan karena alasan hukum ataupun kepentingan umum.
Selain itu semakin tidak terprediksinya angka kejahatan pertahun mengakibatkan semakin sulitnya mengalokasikan anggaran Negara untuk kepentingan penegakan hukum. Apalagi anggaran Kejaksaan pada APBN 2016 ini turun dan dapat dipastikan akan mempengaruhi jalannya penegakan hukum. Kejaksaan dituntut untuk memperioritaskan perkara-perkara penting dan merugikan kepentingan masyarakat daripada melakukan penuntutan perkara-perkara yang memiliki indikasi kuat rekayasa kasus. Hal ini menjadikan asas oportunitas satu-satunya jalan untuk mengatasi peningkatan perkara pidana jika dikaitkan dengan anggaran yang tersedia (Jehle 2006; Krug 2002).
Namun sayang, absennya definisi dan aturan tentang kepentingan umum dalam proses penerbitan deponeering mengakibatkan hampir semua perkara pidana yang kontroversial tetap dituntut di pengadilan. Tentunya masih segar di ingatan kita kasus Prita, Nenek Minah, Nenek Asyani dan kasus kontroversial lainnya, belum lagi kasus-kasus yang terindikasi kuat terdapat rekayasa kasus ataupun kriminalisasi yang menimpa masyarakat kecil ataupun aktivis yang secara politik lemah yang meskipun menimbulkan kegaduhan di masyarakat tetap dilakukan penuntutan di pengadilan.
Hal yang sebenarnya juga dapat dipahami mengingat ketidak jelasan posisi Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan dan lemahnya jaksa dalam melakukan fungsi penuntutan. Posisi Jaksa Agung yang dianggap bagian dari kabinet menjadikan proses pemilihannya hanya didasarkan pada selera Presiden dan ketiadaan aturan tentang masa tugas Jaksa Agung yang jelas mengakibatkan Presiden sewaktu-waktu dapat memberhentikan Jaksa Agung jika merasa tidak cocok.
Disisi lain, diferensiasi fungsional yang dianut KUHAP yang selama ini tegas memisahkan fungsi penyidikan dan penuntutan bukan tanpa masalah. Absennya peran jaksa dalam menentukan proses penyidikan yang akan menjadi bahan penuntutan di persidangan tidak jarang berpengaruh pada keberhasilan penuntutan. Belum lagi jika ada dugaan kuat rekayasa kasus yang dilakukan oleh oknum penyidik, Jaksa yang hanya meneliti kasus berdasarkan berkas perkara tanpa mengatahui fakta di lapangan akan sulit untuk menentukan apakah perkara tersebut layak atau tidak layak dilanjutkan di pengadilan.
Sudah saatnya pemerintah dan para pengambil kebijakan di negeri ini memikirkan formula yang tepat agar rekayasa kasus/kriminalisasi dapat ditekan atau bahkan diberantas. Jika mau belajar dari keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan penuntutan maka kejaksaan harus menerapkan akuntabilitas dan transparansi dalam setiap proses penegakan hukum. Selain itu secara kelembagaan, kejaksaan harus menjadi lembaga independen yang dapat mensupervisi penyidikan dan juga melakukan penuntutan. Terakhir, proses pemilihan Jaksa Agung harus dilakukan secara terbuka dengan syarat yang ketat dengan disertai masa jabatan yang jelas dan pasti untuk meminimalisir adanya intervensi politik dalam proses penegakan hukum.
Versi lain tulisan ini dimuat di Jawa Pos, 7 Maret 2016 :
http://digital.jawapos.co.id/shared.php?type=imap&date=20160307&name=H4-A222751